Melihat sebuah kesempatan

Sebagai warga negara yang baik :) , pukul 10.00 WIB tadi saya pergi ke samsat untuk mengurus pajak kendaraan bermotor (orang bijak taat pajak). Dan inilah untuk pertama kalinya motor yang sudah aku tunggangi hingga 5 tahun mengganti plat. Tidak seperti pada pajak tahunan yang hanya memasukkan fotokopi bpkb, ktp, stnk pada salah satu loket dan kemudian menunggu panggilan selanjutnya. Pada pembayaran kali ini ternyata harus melalui beberapa prosedur tambahan yaitu cek fisik kendaraan, dan pembelian formulir.

Bukan masalah bagaimana prosedur pembayaran pajak kendaraan bermotor yang akan saya bicarakan disini, tetapi saya melihat ada sebuah pelajaran yang patut dijadikan bahan renungan kita bersama. Namun sebelumnya saya akan bercerita sedikit mulai dari awal hingga akhir proses pembayaran yang saya alami tadi.

Pertama, setelah masuk diarea kantor dan memarkirkan kendaraan, ada orang yang mendatangi menawarkan jasa untuk membayarkan pajak.

Kedua, untuk melakukan proses pembayaran pajak, syaratnya yaitu mencantumkan fotokopi bpkb, ktp, dan stnk. Ternyata ada penyedia fotokopi disekitar kantor, dan bisa dibilang pembayarannya sedikit melebihi harga normal. Tadi saya membayar 1000 rupiah untuk 2 lembar kertas, bisa dibayangkan berapa kali lipat dari harga fotokopi normal.

Ketiga, cek fisik kendaraan. Ternyata ada jasa pengerikan (no fisik kendaraan dicap pada formulir). Biaya yang dibebankan adalah 5000 rupiah.

Keempat, pembelian formulir. Saya melihat isian begitu banyaknya, hingga bingung mau mengisi yang mana, dan diisi apa. Eh...disamping saya ternyata ada pula yang menawarkan jasa pengisian formulir dan membayar seikhlasnya, katanya. Sayapun menyetujuinya dan memberikannya pada penjual jasa penulisan. Ternyata yang diisi tidak semua, mungkin hanya sekitar 10 isian dari sekitar 50 isian (saya memberikan 3000 rupiah untuk jasa ini).

Kelima, setelah pembayaran selesai, ada pula yang menawarkan plastik tipis stnk dengan harga 1000 rupiah.

Keenam (hampir kelupaan ne...), parkir. 1000 rupiah untuk jasa ini.

Nah dari sedikit cerita diatas, bukan berapa rupiah yang saya berikan kepada mereka, namun bagaimana kita melihat peluang atau kesempatan yang ada. Mereka yang (maaf) notabene tidak menempuh pendidikan yang tinggi ternyata sanggup melihat sebuah kesempatan sebagai 'ladang' yang menghasilkan. Lalu bagaimana dengan kita orang-orang yang telah menempuh pendidikan yang lebih tinggi dengan menyandang gelar kesarjanaan. Seringkali kita hanya menjadikan diri kita sebagai 'kuli', yang hanya melakukan jika ada suatu perintah tanpa ada kreasi yang muncul dari dalam diri. Mari kita (saya juga tentu saja) belajar untuk meng-create produk dari pengetahuan yang telah kita dapatkan, melihat sebuah kesempatan sebagai peluang, mengexplore kemampuan yang ada dan bukan mengeksploitasi, dan tentu saja menghasilkan produk yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tela Telo

Menemukan Sukacita dalam Keseharian: Refleksi Seorang Programmer tentang Iman

Belajar Menggambar