Guruku 'sayang'

Saya teringat dengan masa sekolah, secara khusus ketika belajar di sekolah dasar. Masa untuk mulai mengenal banyak orang, mengenal lingkungan, mengenal sang guru dengan segala keterbatasannya.

Guruku 'sayang', sayang saya tidak dapat mengingat banyak tentang kebaikanmu, entah kenapa, seharusnya ada. Sayang hanya satu dua yang sempat saya ingat, tapi sekali lagi bukan karena kebaikanmu. Saat ini, saya berusaha mengingat, mencoba memposisikan diri kedalam masa lampau, bergerak, melihat, mengalami setiap aktifitas yang sedang terjadi, siapa tahu saya bisa melihat kebaikanmu.

----

Guru mengapa engkau tidak ada ketika kami membutuhkanmu, bukan materi ajar yang kami butuh, tapi kehadiranmu dengan tanggung jawab mendidik kami dengan segenap hatimu, membangun karakter kami, pribadi kami, mental kami. Guru dimana engkau, kami tidak tahu kabarmu, engkau hanya meminta salah satu teman kami membacakan buku yang sudah engkau titipkan, kami mencatatnya. Kami tidak tahu maksudmu, kami hanya tahu bagaimana nanti kami bisa mengerjakan soalmu dan mendapat nilai bagus darimu. Guru, apa yang engkau inginkan dari kami? Guru, engkau mau kami menjadi apa?

Guru kelas mengajar kami, memberikan tugas kepada kami, kami membawa pulang lalu mengerjakannya. Bahasa Indonesia, tugas mencari definisi kata. Aku tidak mencari siapapun, aku hanya mengambil buku paling tebal di rak buku rumahku, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dengan mudahnya aku mengerjakannya meskipun dengan perasaan takut, takut kalau jawabanku paling benar diantara teman yang lain. Takut kalau aku dianggap tidak berusaha dan dianggap itu hanya jawaban dari orang tuaku. Padahal tidak, aku sudah berusaha dengan mencari jawaban yang paling benar, mungkin berbeda dengan temanku yang hanya menggantungkan jawaban dari orangtuanya yang tentu saja belum tentu jawaban yang benar. Ketika hari pengoreksian, guru meminta murid mengoreksi hasil kerja dengan cara saling silang acak, guru membacakan jawaban, murid memeriksa jawaban teman. Apa yang terjadi? Jawabanku salah. Jawaban temanku yang 'itu itu itu' aja benar. Mana keadilanmu guru? Mana usahamu untuk mengetahui jawaban yang paling benar? Haruskah aku tetap mempecayaimu? Haruskah aku tetap menganggap engkau sebagai suri teladan?

----

Saya sudah mencoba untuk berusaha mengingat, namun belum bisa menggambarkan dengan jelas sosok guru, pahlawan tanpa tanda jasa yang dahulu telah mendidik saya.

Kepada guru saya akan berterima kasih atas pengajaran dan didikan yang telah diberikan. Untuk guru generasi sekarang didiklah murid dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, didiklah dengan segenap hati, pikiran, dan akal budi.

Komentar

Unknown mengatakan…
Chieeeee..

Postingan populer dari blog ini

Menemukan Sukacita dalam Keseharian: Refleksi Seorang Programmer tentang Iman

Tela Telo

Dalam Anugerah-Nya